Selasa, 19 Oktober 2010

Perkembangan Sastra di Indonesia

sastra
Perkembangan Sastra di Indonesia
Februari 27, 2008 — awan sundiawan

Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.

Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.

Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.

Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.

Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.

Perkembangan Puisi

Dilihat dari segi kewaktuan, puisi Indonesia dibedakan menjadi puisi lama dan puisi modern. Puisi lama Indonesia umumnya berbentuk pantun atau syair. Dan bersifat anonim karena tidak disebutkan siapa pengarangnya. Puisi lama menjadi milik masyarakat.

Puisi modern, atau puisi baru, berkembang sejak bangsa Indonesia mengenal pendidikan formal. Maka puisi modern Indonesia mulai muncul tahun 1920-an karena pada tahun itulah bangsa terdidik Indonesia mulai muncul. Sejak itu puisi baru Indonesia terus berkembang. Sejarah perpuisian Indonesia mencatat beberapa penyair berikut:


I Angkatan Balai Pustaka-Angkatan ‘66

Angkatan

Balai Pustaka


Punagga Baru


‘45


‘66

1. Muhammad Yamin

2. Roestam Effendi

3. Sanusi Pane.



1. Amir Hamzah

2. J.E. Tatengkeng

3. Sutan Takdir Alisjahbana



1. Chairil Anwar

2. Sitor Situmorang

3. Asrul Sani

4. Harijadi S. Hartowardijo



1. Rendra

2. Ramadhan K.H.

3. Toto Sudarto bachtiar

4. Sapardi Djoko Damono

5. Subagio Sastrowardojo

6. Ajip Rosidi

7. Kirdjomulyo

8. Taufik Ismail

9. Goenawan Mohamad

10. Masur Samin

11. Hartijo Andangdjaja

12. Piek Ardijanto Suprijadi

13. Slamet Sukirnanto

14. Toeti Heraty

15. Abdul Hadi W.M.

16. Darmanto Jatman

II. Angkatan ’70-an sampai sekarang

Angkatan

’70-an


’90-an


‘2000-an

1. Sutardji Calzoum Bachri

2. Yudhistira Ardinugraha

3. Linus Suryadi A.G.

4. Leon Agusta

5. Hamid Jabar

6. Eka Budijanta

7. F. Rahardi

8. Emha Ainun Nadjib

9. Djawawi Imron



1. Sides Sudyarto D.S.

2. Rahim Qahhar

3. Arwan Tuti Arta

4. Gunoto saparie

5. Rusli Marzuki Saria

6. Husni Jamaluddin

7. Ibrahim Sattah

8. Agus Sarjono

9. Cecep Syamsul Hari

10. Soni Farid Maulana

11. Acep Zam-zam Nur

12. Joko Pinurbo

13. dll



1. Nenden Lilis Aisyah

2. Mohamad Wan Anwar

3. Jamal D. Rahman

4. dll.

Penyebutan nama-nama di atas tentu saja masih belum lengkap karena penyair-penyair Indonesia yang tersebar di berbagai daerah masih banyak. Boleh jadi jumlahnya sampai ratusan, bahkan ribuan. Yang tercatat di atas hanyalah penyair-penyair yang secara intens kerap muncul di media massa dengan karya-karyanya, baik karya berbentuk puisi itu sendiri maupun esai-esainya. Dan oleh pengamat sastra (kritikus) dicatat namanya sebagai penyair yang karyanya layak disebut puisi-puisi yang bermutu.

Kita kutip karya-karya mereka berikut ini. Tentu saja tidak semua karya mereka tercatat di sini karena akan menghabiskan berlembar-lembar kertas, atau bahkan berjilid-jilid buku. Yang dicatat berikut ini adalah nama yang paling terkenal dan emwakili zamannya.



Muhammad Yamin

Lahir di Sawah Lunto 23 Agustus 1903

Bahasa, Bangsa

Selagi kecil berusia muda,

Tidur si anak di pangkuan bunda,

Ibu bernyanyi, lagu dan dendang

Memuji si anak banyaknya sedang;

Buai sayang malam dan siang,

Buian tergantung di tanah moyang.

Terlahir bangsa berbahasa sendiri

Diapit keluarga kanan dan kiri

Besar budiman di tanah melayu

Perasaan serikat menjadi padu

Dalam bahasanya permai merdu

Meratap menangis bersuka raya

Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangklan nyawa

Dalam bahasa sambungan jiwa

Di mana Sumatra, di situ bangsa

Di mana Perca di sana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana

Sejakkan kecil muda teruma

Sampai mati berkalang tanag

Lupa ke bahasa tiadakan pernah

Ingat pemuda, Sumatra hilang

Tiada bahasa, bangsa pun hilang

Amir Hamzah

Disebut-sebut sebagai Raja Penyair Pujangga Baru,

Padamu Jua

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kemvbali aku padaMu

Seperti dahulu

Engkaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila saar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihku sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu-bukan diliranku

Mati hari bukan kawanku

Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku

Kumau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943


Willibrordus Surendra (W.S. Rendra)

Episode

Kami duduk berdua

Di bangku halaman rumahnya.

Pohon jambu di halaman iti

Berbuah dengan lebatnya

Dan kami senang memandangnya.

Angin yang lewat

Memainkan daun yang berguguran.

Tiba-tiba ia berkata:

“Mengapa kancingbajumu lepas terbuka?”

Aku hanya tertawa.

Lalu ia sematkan dengan mesra

Sebuah peniti menutup bajuku.

Sementara itu

Aku bersihkan guguran bunga jambu

Yang mengotori rambutnya


Taufiq Ismail

Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya.



Sutardji Calzoum Bachri

Tapi

Aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

Aku bawakan resahku padamu

tapi kau bilang hanya

Aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang Cuma

Aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

Aku bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi

Aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

Aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

Tanpa apa aku datang padamu

wah!


Acep Zamzam Noor

Cipasung

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi semankin merundukkan diri

Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu

Canghkulku iman dan sajadahku lupur yang kental

Langit yang menguji ibadahku meteskan cahaya redup

Dan surauku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu

Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi

Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari

Bagi pagar-pagar bamboo yang dibangun keimananku

Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan

Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Hari esok adalah perjalananku sebagai petani

Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat

Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini

Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan

Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaanmu yang lain

Atas sajadah Lumpur aku terseungkur dan berkubur



Nenden Lilis Aisyah

Negeri Sihir

Angin surut dan cahaya beringsut

Waktu seakan turun menemui kegaiban

Kerisik senyap, segala sunyi

Bertabuh di kegelapan

Negeri tempatku hidup telah jadi mimpi

Alangkah jauh, bagai bayang-bayang

Aku entah berjejak di mana

Tak juga pergi bersama suara-suara


Inilah ketiadaan, ruang kekal kekosongan

Tempat segalanya menghilang

Perkembangan Prosa

Seiring dengan perkembangan puisi, prosa Indonesia pun berkembang pula. Seperti puisi, prosa pun mengenal prosa lama dan prosa baru atau prosa modern. Prosa lama bersifat anonim; dengan penjenisannya meliputi dongeng, hikayat, fabel, sage. Sedangkan prosa baru, dengan diukur dari panjang pendeknya, meliputi cerpen, novelet, dan novel/roman.

Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.

Tahun 1945 perlu dicatat nama Idrus sebagai prosaic cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudul Aki.

Tahun 1949 muncul novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hamir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.

Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nambapknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan shalat, puasa, atau mengaji Quran; sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga.

Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.

Tahun 1975 nuncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah sutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meinggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.

Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakkui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.

Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.

Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambanyak minyak nasional.

Dan novel paling mutakhir adalah Saman, 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap kurang sopan untuk diungkap. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.

Dan untuk tahun 2000-an ini, tepatnya tahun 2003 yang baru silam, telah terbit novel termuda, dari penulis termuda pula yang menulis novel berjudul Area X, sebuah novel futurisktik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhlluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani, seorang siswi kelas 2 SMA Nusantara Magelang, sebuah SMA favorit di Indonesia.

Begitulah perkembangan genre sastra prosa di Indonesia.

Perkembangan Drama

Perkembangan drama di Indonesia tak sesemarak dan setua perkembangan puisi dan prosa. Kalau puisi dan prosa mengenal puisi lama dan porsa lama, tak demikianlah dengan drama. Genre sastra drama di Indonesia benar-benar baru, seiring dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, muncul pada tahun 1900-an.

Sastra drama di Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Untuk selanjutnya bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan atau Tionghoa.

Selanjutnya, anak Indonesia sendiri yang mulai menulis drama. Berikut ini Anda akan disuguhi beberapa dramawan Indonesia dari mulai Rustam Effendi (lahir 1903) sampai dengan Hamdy Salad (lahir 1961).

Tahun Kelahiran Pengarang


Pengarang


Judul

1903

1905

1906

1916

1918

1920

1921

1926

1928

1933

1934

1935

1937

1938

1938

1941

1942

1943

1944

1945

1946

1949

1955

1959

1961


Rustam Effendi

Sanusi Pane

Abu Hanifah

Trisno Sumarjo

D. Jayakusuma

Utuy Tatang Sontani

Usmar Ismail

Asrul Sani

Mohammad Diponegoro

Misbach Yusa Biran

D. Sularto

Rahman Age

Motinggo Busye

Ajip Rosidi

Saini KM

Arifin C. Noer

Vredi Kasram Marta

Aspar Paturusi

Putu Wijaya

Wisran Hadi

Akhudiat

N. Riantiarno

Yono Daryono

Arthur S. Nalan

Hamdy Salad




Bebasari

Kertajaya

Taufan di Atas Asia

Tumbang

Rama Bargawa

Bunga Rumah Makan

Leburan Seniman

Mahkamah

Iblis

Bung Besar

Domba-domba Revolusi

Pembenci Matahari

Malam Jahanam

Masyitoh

Egon

Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi

Syeh Siti Jenar

Perahu Nuh II

Dam

Cindua Mato

Jaka Tarub

Sampek Engtay

Ronggeng-ronggeng

Syair Ikan Tongkol

Perempuan dalam Kereta





Terima kasih kepada Bapak Drs. Dodo Suwondo yang selalu berdiskusi dengan saya mengenai bahasa dan sastra Indonesia.



i

1 Votes

Quantcast

Ditulis dalam Artikel. 21 Komentar - komentar »

Tambahkan komentar Komentator

Konversi Kode

Terima kasih telah berkomentar